Belajar Mengenal Diri Jumlah Kata Nafs Dalam Al-Qur'an
11/01/2020
وَفِى اَنْفُسِكُمْ اَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ
Dan di dalam diri kamu apakah kamu tidak memperhatikannya. (az-Dzariat: 21)
“Mengenal diri bisa sederhana, bisa dahsyat, bisa dramatis bisa pula romantis. Sedang yang paling mengenal diri kita adalah Pencipta kita. Bukan diri kita,” ujar KH M. Luqman Hakim.
Yang paling mengenal diri manusia ialah Allah SWT. Sebab itu, dia menyarankan agar seorang hamba memohon kepada Allah untuk diperkenalkan dengan dirinya sendiri. Dari sini muncul ungkapan, usaha mengenal Allah ialah dengan cara mengenal diri sendiri.
Belajar mengenal diri lebih jauh karena tidak kenal maka tidak akan sayang tidak sayang pasti juga tidak mungkin cinta.
Mengenal diri dzahir
Diri manusia pada dasarnya terdiri dari 2 bagian, yakni diri zahir dan diri batin. Pada diri dzahir, kita dapat menyaksikan kebesaran Allah SWT. Kita dapat melihat wujud fisik kita sendiri sebagai pengenalan awal akan diri sendiri.
Kita perhatikan anatomi tubuh yang tersusun begitu rapi, mulai dari ubun-ubun hingga ujung kaki yang penuh rahasiaAllah berfirman dalam surat Al-Insan ayat 2,
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.
Allah menciptakan kita dari setetes mani hingga kita menjadi seorang manusia seperti sekarang ini. Kita dapat melihat, mendengar, berbicara, dan bergerak berkat izin dan kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT.
Mengenal diri batin
Diri batin adalah ruh yang ada di dalam diri kita sendiri. Sebelum mengenal Allah, dalam ilmu tasawuf dijelaskan bahwa kita harus bisa mengenal diri kita sendiri. Salah satu cara untuk mengenal diri sendiri adalah melihat ke dalam kalbu kita.
Dalam surat Shaad disebutkan, "Maka apabila telah Ku sempurnakan kejadiannya dan Ku tiupkan kepadanya ruh-Ku."(QS: 38:72).
Ruh yang ditiupkan itu sebagai daya jiwa manusia ketika kelak berada di dunia.
Tidak hanya di situ, Tuhan pun mengajak "dialog" untuk meneguhkan keyakinan manusia.
Allah SWT berfirman dalam: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Hal ini) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lupa terhadap ini." (QS: 7: 172)
Peniupan ruh dan dialog spiritual itu menunjukkan pada hakikatnya manusia sebagai makhluk spiritual yang telah ber-Tuhan sejak di dalam kandungan.
Penggunaan kata "nafakh" atau "meniupkan" menunjukkan perbuatan itu sebagai titah Allah SWT. secara langsung tanpa melibatkan makhluk-Nya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jilani (470-561 H) dalam kitabnya Sirrul Asror telah menjelaskan bahwa yang pertama kali Allah ciptakan adalah "Nur Muhammad" dari cahaya suci Keindahan-Nya.
Ini dinyatakan juga oleh Baginda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam sabdanya:
"Mula-mula Allah ciptakan ruhku. Pada awalnya diciptakan-Nya sebagai ruh suci". "Mula-mula Allah ciptakan Al-Qalam (pena)". "Mula-mula Allah ciptakan akal".
Allah Subhanahu Wa Ta'ala pertama kali menjadikan cahaya atau nur yang disebut Nur Muhammad SAW. Dari sifat Jamal-Nya (keindahanNya).
"Ia adalah suatu realitas yang memiliki banyak nama menurut fungsinya dan dari sudut mana kita memandangnya," katanya.
Realitas batin atau gaib ini diberikan kepada orang-orang sufi sebagai Al-haqiqah al-Muhammadiyah atau disebut sebagai hakikat Muhammad.
Realitas atau hakikat ini diistilahkan dengan banyak nama. Realitas ini disebut Nur atau cahaya karena bebas dari bersih dari segala kegelapan atau karena dengan adanya cahaya tersebut segala kegelapan hilang musnah.
Allah Subhanahu Wa Taala dalam surat al-Maidah ayat 15 berfirman
"...Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. "
Hakikat itu juga diberi gelar Aql al-Kull (Akal Semesta), karena ia tahu dan melihat segala sesuatu.
Ia juga diberi gelar Qalam karena ia menyebarkan ilmu dan hikmah, serta menzahirkan ilmu dalam bentuk huruf dan perkataan.
"Jadi ia juga digelari ruh, karena ia hidup bukan mati. Dari ruh itulah asal terbitnya segala yang hidup. Oleh karena itu hidup, maka ia digelari ruh," katanya.
MANUSIA ITU RUH
Bermula manusia itu adalah “RUH” namanya.
Setelah masuk kedalam tubuh “NYAWA / NAFAS” namanya.
Tatkala berkehendak adalah “HATI” namanya.
Tatkala berkeinginan adalah “NAFSU” namanya.
Tatkala percaya akan sesuatu “IMAN” namanya.
Tatkala berbuat sesuatu adalah “AKAL” namanya.
Hakekat diri yang sebenarnya adalah NYAWA / NAFAS hakekat nafas adalah RUH hakekat ruh adalah NUR MUHAMMAD dan Nur Muhammad dari cahaya suci Keindahan Allah.
Jadi mengenal diri adalah memahami diri secara dzohir, memahami diri secara batin, sadar bahwa dalam fisik ini ada diri, sadar bahwa diri itu adalah ruh.
Sadar bahwa ruh itu berasal dari Nur Muhammad dan sadar bahwa Nur Muhammad di ciptakan Allah dari cahaya Nya untuk menjadi hamba dan mengakui Allah sebagai Tuhan nya serta hidup hanya untuk Allah demi Allah dan karena Allah.
Sehingga eksistensi diri di dunia hanya untuk menghambakan diri pada Allah.
Jumlah Kata Nafs Dalam Al-Qur'an
Kata nafs memiliki beberapa makna, yaitu diri atau pribadi atau orang (person), nafsu, roh atau jiwa (soul), niat atau kehendak, hati, dan lain-lain.
Bentuk jamak dari nafs adalah anfiis atau nufûs, Di dalam Al Qur’an, kata nafs dalam berbagai bentuk derivasinya ditemukan sebanyak 295 kali.
Kata-kata nafs tersebut memiiiki cakupan dan macam makna yang sangat banyak. Makna-makna nafs tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
Kata nafs yang bermakna diri, pribadi, atau person bisa ditujukan kepada manusia dan bisa pula ditujukan kepada zat Yang Maha Agung, yakni Allah SWT.
Ketika nafs dipakaikan untuk “din” Allah SWT, maka nafs itu dapat berarti zat atau sifat Allah. Nafs dalam makna zat Allah terdapat dalam beberapa ayat Al Qur’an antara lain surat al-Maidah ayat 116
فَقَدْ عَلِمْتَهُۥ ۚ تَعْلَمُ مَا فِى نَفْسِى وَلَآ أَعْلَمُ مَا فِى نَفْسِكَ ۚ إِنَّكَ أَنتَ عَلَّٰمُ ٱلْغُيُوبِ
artinya: “...Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku (nafsi) dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau (nafsika). Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghaib.”
Dalam surat Thaha (20) ayat 41
وَاصْطَنَعْتُكَ لِنَفْسِيْۚ
artinya: “dan Aku telah memilihmu (hai Musa) untuk diri-Ku (nafsi).
Demikian juga dalam surat al-An'am ayat 12
قُل لِّمَن مَّا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ قُل لِّلَّهِ ۚ كَتَبَ عَلَىٰ نَفْسِهِ ٱلرَّحْمَةَ ۚ لَيَجْمَعَنَّكُمْ إِلَىٰ يَوْمِ ٱلْقِيَٰمَةِ لَا رَيْبَ فِيهِ ۚ ٱلَّذِينَ خَسِرُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
artinya: “Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah”.
Dia telah menetapkan atas diri-Nya (nafsihi) kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman.”
Ketika ayat di atas memakai kata nafs untuk menunjukkan zat Allah. Adapun kata nafs yang menunjuk kepada sifat Allah dapat dilihat dalam surat Ali 'Imran ayat 28
لا يَتَّخِذِ ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلْكَٰفِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ ٱللَّهِ فِى شَىْءٍ إِلَّآ أَن تَتَّقُوا۟ مِنْهُمْ تُقَىٰةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ ٱللَّهُ نَفْسَهُۥ ۗ وَإِلَى ٱللَّهِ ٱلْمَصِيرُ
artinya: “Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya (nafsihi). Dan hanya kepada Allah kembali (mu).”
Kata nafs pada ayat ini menunjukkan kepada salah satu sifat Tuhan, yaitu al-Muntaqim (Yang Maha pembalas).
Kata nafs dalam pengertian diri, orang, atau pribadi manusia ditujukan kepada totalitas manusia. Misalnya firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 32
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفْسًۢا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى ٱلْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًا ۚ
artinya: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang .manusia (nafsan), bukan karena orang itu (membunuh) orang lain (nafsin), atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya....”
Kata nafs pada ayat ini adalah sinonim dari kata al-nds (manusia), yaitu menunjuk kepada diri manusia secara keseluruhan yang merupakan kesatuan dari aspek flsik dan non-fisik.
Kata nafs dengan makna yang sama dengan di atas juga dipakai pada surat al-Nisa’ ayat 1 yang menceritakan tentang awal penciptaan manusia.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Ayat ini menerangkan kesatuan asal seluruh manusia, yaitu bahwa seluruh manusia berasal dari nafs wâhidah (diri, orang, pribadi yang satu). Menurut para ahli tafsir, yang dimaksud dengan diri yang satu pada ayat ini adalah Nabi Adam a.s.
Kata nafs digunakan juga untuk menunjukkan apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku sebagaimana yang dimaksud oleh surat al-Ra'd ayat 11
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ
artinya: “...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (anfusahum)...”
Nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna dengan fungsi menampung dan mendorong manusia untuk berbuat kebaikan atau keburukan. Maka tergantung kepada manusia mengarahkan nafs tersebut.
Allah berfirman dalam surat al-Syams ayat 7-10
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّىٰهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا
artinya: “Demi jiwa (nafs) serta penyempurnaan ciptaan-Nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Mengilhamkan pada ayat ini berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan atau keburukan.
Al Qur’an menegaskan bahwa nafs memiliki potensi positif dan negatif secara berimbang sebagaimana disebutkan dalam surat al-Syams diatas. Akan tetapi, terdapat pula kecenderungan sebagian kalangan yang mengartikan nafs dalam makna yang lebih kepada negatif.
Dalam terminologi kaum sufi misalnya, nafs diartikan dengan sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk.
Pemaknaan negatif terhadap nafs mungkin berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran sendiri yang sebagian menginformasikan sifat negatif dari nafsu. Misalnya surat Yusuf ayat 53
وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ
artinya: “...karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahniat oleh Tuhanku... “ Padahal sesungguhnya terdapat juga ayat-ayat lain yang menonjolkan sifat positif dari nafsu.
Misalnya surat al-Baqarah (2) ayat 286
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ
artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. la mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya (kasabat) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya (iktasabat)”
Kata kasabat dalam bahasa Arab biasanya digunakan untuk pekerjaan yang dilakukan dengan mudah, sedangkan kata iktasabat biasanya digunakan untuk hal-hal yang sulit dan berat. Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan bahwa nafs lebih mudah untuk melakukan hal-hal yang baik dari pada melakukan hal-hal yang buruk.
Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia menunjuk kepada sisi dalam pada diri manusia yang memiliki potensi baik dan buruk.
Dalam hal ini, nafs ada yang diartikan dengan natsu, jiwa, dan ruh. Kata nafs yang bermakna nafsu dalam pengertian sehari-hari antara lain terdapat dalam surat Yusuf (12) ayat 53
artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Pada ayat ini, nafs diartikan dengan nafsu, tepatnya hawa nafsu, yaitu suatu bagian integral dari diri manusia yang selalu mempunyai kecenderungan negatif Nafsu tersebut berlawanan dengan dan diimbangi oleh dua komponen lain pada diri manusia, yaitu hati yang memiliki kecenderungan positif dan akal yang memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk
Kata nafs dapat juga bermakna jiwa atau ruh. Kata nafs dengan makna ini antara lain terdapat dalam al-Quran surat al-Fajr (89) ayat 27-30
artinya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
Ayat ini menerangkan salah satu macam dari jiwa, yakni nafsu muthmainnah. Dua macam nafsu lainnya nafsu amarah dan nafsu lawwâmah.
Dalam tafsir Qurthubi dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-nafs al-muthmainnah adalah jiwa yang tenang, ikhlas dan yakin. Tenang karena selalu berzikir kepada Allah, mendapatkan ganjaran yang baik, dan terbebas dari azab yang pedih.
Ikhlas dalam pengertian menerima segala ketetapan Allah SWT. Kemudian yakin kepada Tuhan dan terhadap janji-janji yang termuat dalam kitab-Nya.
Al-nafs al-muthmainnah adalah tingkat dan kualitas
perkembangan jiwa yang paling tinggi yang bisa dicapai manusia.
Kata nafs dalam pengertian jiwa atau roh juga terdapat dalam
al-Anbiya’ (21) ayat 35
artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
Ayat ini menerangkan bahwa setiap yang berjiwa pasti akan mengalami proses kematian. Kematian diartikan dengan berpisahnya roh dengan jasad manusia. Dengan demikian, roh pada hakekatnya sama dengan jiwa atau nama lain dari jiwa itu sendiri.
Akan tetapi terdapat kebiasaan penggunaan yang berbeda antara roh dengan jiwa. Kata roh dipakai ketika belum menyatunya dengan jasad atau ketika telah berpisah dengan jasad setelah terjadi kematian.
Hal ini terlihat dalam firman Allah dalam surat al-Sajadah (32) ayat 9
artinya: “Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati. (Tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”
Sedangkan istilah jiwa digunakan setelah menyatunya antara roh dan jasad Jiwa inilah yang menjadi motor penggerak kehidupan manusia. Pada ayat 9 surat al-Sajadah di atas terlihat bahwa setelah roh menyatu dengan jasad (menjadi “jiwa”), maka barulah muncul kemampuan-kemampuan dalam din” manusia seperti mendengar, melihat, dan merasai.
Dr. Adnan Syarif, seorang pakar psikologi Islam kontemporer, juga mengemukakan perbedaan antara jiwa dan ruh berdasarkan penelitian dan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran.
Menurut Adnan Syarif, jiwa bukanlah ruh. Jika jiwa adalah ruh, maka apa yang pergi ke alam barzah ketika manusia mati? Siapa pula yang memohon kepada Allah SWT agar dikembalikan kepada kehidupan dunia setelah manusia itu mati? Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mu'minun (23) ayat 99-100
artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.”
Oleh sebab itu, lanjut Syarif, ruh adalah subtansi yang menjadi unsur penyebab dan penggerak pertama bagi segala kehidupan. Pusat ruh tersebut terdapat dalam kalbu (hati).
Dari kalbu, ruh tersebut tersebar melalui darah kepada setiap sel-sel tubuh sehingga muncullah kehidupan di dalamnya. Jadi kalbu merupakan stasiun transmisi utama. Jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh manusia, demikian pula sebaliknya. Jadi ruh merupakan inti.
Dia saling berinteraksi secara erat dengan akal dan jiwa. Jiwa merupakan sumber seluruh emosi, gejala psikis, serta refleksi yang bersifat fisik terhadap tubuh. Sementara itu, akal yang memiliki kemampuan berfikir dan otak sebagai alatnya diberi tugas kepemimpinan oleh Allah untuk menunjuki jalan kebenaran dan merealiasikan berbagai keinginan dan dorongan kejiwaan.
Dengan demikian, kata nafs dalam perspektif al-Quran memiliki banyak makna, yaitu diri, nafsu, roh atau jiwa (soul), niat atau kehendak, hati, dan lain-lain.
Kata nafs ada yang dipakaikan kepada Allah SWT yang menunjuk kepada zat atau sifat Allah. Di samping itu ada juga yang dipakaikan kepada manusia yang menunjukkan kepada totalitas manusia atau kepada bagian-bagian dari manusia tersebut.